Paradigma
baru yang sedang dikembangkan Polri saat ini berorientasi kepada
pemecahan masalah-masalah masyarakat (problem solver oriented), dengan
berbasis pada potensi-potensi sumber daya lokal dan kedekatan dengan
masyarakat yang lebih manusiawi (humanistic approach). Dengan paradigma
baru ini diharapkan lahirnya polisi sipil yang humanis, terutama di
jajaran Kepolisian. Seperti dikatakan Sir Robert Mark di era
modern senjata polisi bukan lagi water canon, gas air mata ataupun
peluru karet, melainkan simpati dari masyarakat. Terciptanya simpati
masyarakat ini hanya bisa diraih dari keberadaan polisi yang humanis di
berbagai lini kehidupan sosial masyarakat.
Bagaimana
polisi humanis bisa lahir? Tiada cara lain selain jajaran kepolisian
harus terus menerus hadir, hidup, dan merasakan denyut nadi kehidupan
masyarakatnya. Dengan adanya interaksi yang terus menerus tersebut
polisi makin bisa bersama-sama dengan masyarakat mencari jalan keluar
atau menyelesaikan masalah sosial, terutama masalah keamanan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya interaksi yang terus
menerus tersebut polisi akan bisa senantiasa berupaya untuk mengurangi
rasa ketakutan masyarakat terhadap akan adanya gangguan kriminalitas.
Dengan adanya interaksi yang terus menerus itu polisi lebih bisa mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention). Dengan adanya interaksi yang terus menerus tersebut polisi lebih bisa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Seperti kata Satjipto Rahardjo tugas utama aparat kepolisian tidak hanya untuk melawan kejahatan, lebih dari itu harus mampu mencari dan melenyapkan sumber kejahatan tersebut.
Dengan adanya interaksi yang terus menerus masyarakat akan merasakan bahwa polisi benar-benar sebagai sahabat sejatinya. Di Jepang misalnya, polisi benar-benar dianggap sebagai sahabat sejati masyarakat. Sikap-sikap humanis yang diterapkan jajaran kepolisian membuat masyarakat cenderung mematuhi perintah seorang anggota polisi. Akibatnya, bagi masyarakat Jepang ditangkap oleh polisi adalah pengalaman yang memalukan. Meskipun jarang sekali dari mereka yang tertangkap oleh polisi benar-benar dihukum. Sebab, polisi Jepang lebih bersikap sebagai juru rawat yang senantiasa mengayomi dan membimbing masyarakatnya. Polisi Jepang sendiri kerap melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah masyarakat yang berada di wilayah binaannya. Selain bersilaturahmi, para polisi itu juga menanyakan aktivitas pemilik rumah yang dikunjunginya.Interaksi yang humanis inilah yang menanamkan nilai-nilai persahabatan antara masyarakat dan polisi.
Di Indonesia konsep polisi yang humanis ini mulai disosialisasikan Mabes Polri. Aparat polisi lalulintas sebagai etalase Polri dijadikan contoh penjabaran konsep paradigma baru Polri. Diharapkan melalui keberadaan aparat kepolisian lalulintas (polantas) citra simpatik Polri terbangun. Saat ini Polri tengah berupaya mengubah citra petugas polantas di jalanan dari citra sebagai pengganggu menjadi pelayan dan sahabat pengguna jalan, dengan melakukan tindakan simpatik. Proyek percontohannya dilakukan secara berkala selama tiga bulan.
Pola kegiatan yang dilakukan adalah seluruh petugas polantas wajib melakukan tindakan pembinaan kepada masyarakat, dimana setiap menghentikan pelanggar lalulintas tidak dilakukan penindakan hukum (tilang), melainkan dengan peneguran dan peringatan kepada pelaku pelanggaran lalulintas (kecuali pelanggaran berbahaya). Kemudian petugas polantas wajib menghindari perdebatan dengan pelanggaran lalulintas di pinggir jalan. Tidak melakukan tindakan dan ucapan kasar serta tidak bersikap angkuh terhadap pengguna jalan,
Seluruh petugas polantas wajib memberi contoh kepatuhan terhadap peraturan lalulintas. Mereka wajib pula selalu bersikap bersahabat dan siap membantu pengguna jalan melalui senyum, sapa, dan salam.
Jadi, hadirnya polisi sipil yang humanis memang merupakan tuntutan zaman, jika aparat kepolisian tidak mau tertinggal dan tergilas zaman. Sebab polisi sipil yang humanis adalah salah satu dari cita-cita paradigma baru Polri. Paradigma baru ini memuat suatu nilai, sikap, dan prilaku yang menciptakan sindrom merawat serta kepedulian. Dengan kata lain, paradigma baru Polri mencerminkan karakteristik polisi sipil yang lebih cenderung caring the people dari pada use of force (Satjipto Rahardjo 2005). Dengan paradigma baru ini wajah kepolisian Indonesia diharapkan menjadi lebih humanis.
Sebenarnya, pada dasarnya hubungan polisi dengan masyarakat terbagi dalam tiga katagori (Parsudi Suparlan 2004).
Pertama, posisi seimbang atau setara. Artinya, polisi dan masyarakat menjadi mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Kedua, posisi polisi yang menganggap masyarakat sebagai atasannya, sehingga berbagai kebutuhan rasa aman harus dipahami dan dipenuhi oleh polisi. Dalam hal ini polisi senantiasa berupaya untuk memahami masyarakat yang dilayaninya.
Ketiga, posisi polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya.
Meskipun paradigma baru Polri menekankan aparat kepolisian harus tampil sebagai polisi sipil yang humanis, sesungguhnya salah satu dari tiga poin Tri Brata adalah pengejawantahan dari nilai-nilai polisi sipil yang humanis. Poin ketiga dari Tri Brata tersebut berbunyi "Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban", Hanya saja selama ini nilai-nilai humanis yang ditekankan Tri Brata itu selalu berhasil dikalahkan oleh nilai - nilai ekonomis, sehingga sering terjadi berbagai pengkaburan konsep kepolisian di negeri ini.
Untuk menjadi polisi sipil yang humanis ada tiga hal yang patut dilakukan oleh anggota polisi secara rutin, terus menerus, dan konsisten. Yaitu selalu bersikap empati, mau melayani sesama, dan selalu mampu mengendalikan emosi. Dalam situasi apapun dan dengan latar belakang apa pun seorang anggota polisi harus mampu berprilaku simpati, sehingga masyarakat selalu bisa merasa nyaman berada di dekatnya. Dengan adanya sikap simpati yang diberikan anggota polisi tersebut masyarakat akan merasakan bahwa polisi tersebut sesungguhnya sudah memberikan rasa empati kepada mereka. Empati berarti seorang polisi menempatkan dirinya pada posisi masyarakat. Dengan demikian, polisi itu bukan hanya memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat tersebut, lebih dari itu ia mengenal lebih detil lagi tipe-tipe masyarakat yang berbeda, yang berada di wilayah tugasnya.
Secara jujur, imbalan yang diterima seorang polisi sesungguhnya tergantung pada pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat. Jika nilai-nilai ini dipahami, setiap anggota polisi pasti selalu terobsesi untuk melayani masyarakat. Ia akan terus mencari cara-cara baru untuk melayani masyarakat secara lebih baik dari pada yang dilakukan sebelumnya. Sebab, inilah sesungguhnya nilai-nilai dasar dari filosofis Polri sebagai pelayan masyarakat. la akan selalu bertanya, apa sebenarnya yang dibutuhkan, diinginkan, dan diharapkan masyarakat? Apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting karena polisi tersebut sangat menyadari bahwa masyarakat adalah komunitas yang menjadi tempatnya bergantung guna meraih sukses dalam pekerjaan.
Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat masing-masing anggota kepolisian dituntut harus mampu mengendalikan emosinya, dalam situasi apapun. Jika tidak filosofis pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang diagung-agungkan Polri hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Dalam nilai-nilai polisi sipil yang humanis, munculnya emosi negatif yang meledak-ledak di banyak kasus yang melibatkan anggota Polri adalah sebuah peringatan bahwa jajaran kepolisian agar segera mengubah persepsi (cara memandang) dan prosedur, tindakan maupun prilakunya.
Bagi kebanyakan orang, emosi sering dianggap sebagai respon spontan atas kejadian atau perbuatan orang lain terhadap kita. Namun bagi seorang anggota polisi yang sering mendapat didoktrin sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, ia harus dapat menempatkan diri dalam suasana emosi yang tepat. Artinya, luapan emosi tersebut harus sepenuhnya berada dalam kendali dirinya. Tidak lepas kontrol. Jika gagal berarti anggota polisi itu gagal pula melaksanakan doktrin sebagai pelindung. pengayom, dan pelayan masyarakat. Berbagai kegagalan tersebut hanya akan membawa dampak bagi tidak terciptanya polisi sipil yang humanis, yang menjadi idaman masyarakat.
Dengan adanya interaksi yang terus menerus itu polisi lebih bisa mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention). Dengan adanya interaksi yang terus menerus tersebut polisi lebih bisa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Seperti kata Satjipto Rahardjo tugas utama aparat kepolisian tidak hanya untuk melawan kejahatan, lebih dari itu harus mampu mencari dan melenyapkan sumber kejahatan tersebut.
Dengan adanya interaksi yang terus menerus masyarakat akan merasakan bahwa polisi benar-benar sebagai sahabat sejatinya. Di Jepang misalnya, polisi benar-benar dianggap sebagai sahabat sejati masyarakat. Sikap-sikap humanis yang diterapkan jajaran kepolisian membuat masyarakat cenderung mematuhi perintah seorang anggota polisi. Akibatnya, bagi masyarakat Jepang ditangkap oleh polisi adalah pengalaman yang memalukan. Meskipun jarang sekali dari mereka yang tertangkap oleh polisi benar-benar dihukum. Sebab, polisi Jepang lebih bersikap sebagai juru rawat yang senantiasa mengayomi dan membimbing masyarakatnya. Polisi Jepang sendiri kerap melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah masyarakat yang berada di wilayah binaannya. Selain bersilaturahmi, para polisi itu juga menanyakan aktivitas pemilik rumah yang dikunjunginya.Interaksi yang humanis inilah yang menanamkan nilai-nilai persahabatan antara masyarakat dan polisi.
Di Indonesia konsep polisi yang humanis ini mulai disosialisasikan Mabes Polri. Aparat polisi lalulintas sebagai etalase Polri dijadikan contoh penjabaran konsep paradigma baru Polri. Diharapkan melalui keberadaan aparat kepolisian lalulintas (polantas) citra simpatik Polri terbangun. Saat ini Polri tengah berupaya mengubah citra petugas polantas di jalanan dari citra sebagai pengganggu menjadi pelayan dan sahabat pengguna jalan, dengan melakukan tindakan simpatik. Proyek percontohannya dilakukan secara berkala selama tiga bulan.
Pola kegiatan yang dilakukan adalah seluruh petugas polantas wajib melakukan tindakan pembinaan kepada masyarakat, dimana setiap menghentikan pelanggar lalulintas tidak dilakukan penindakan hukum (tilang), melainkan dengan peneguran dan peringatan kepada pelaku pelanggaran lalulintas (kecuali pelanggaran berbahaya). Kemudian petugas polantas wajib menghindari perdebatan dengan pelanggaran lalulintas di pinggir jalan. Tidak melakukan tindakan dan ucapan kasar serta tidak bersikap angkuh terhadap pengguna jalan,
Seluruh petugas polantas wajib memberi contoh kepatuhan terhadap peraturan lalulintas. Mereka wajib pula selalu bersikap bersahabat dan siap membantu pengguna jalan melalui senyum, sapa, dan salam.
Jadi, hadirnya polisi sipil yang humanis memang merupakan tuntutan zaman, jika aparat kepolisian tidak mau tertinggal dan tergilas zaman. Sebab polisi sipil yang humanis adalah salah satu dari cita-cita paradigma baru Polri. Paradigma baru ini memuat suatu nilai, sikap, dan prilaku yang menciptakan sindrom merawat serta kepedulian. Dengan kata lain, paradigma baru Polri mencerminkan karakteristik polisi sipil yang lebih cenderung caring the people dari pada use of force (Satjipto Rahardjo 2005). Dengan paradigma baru ini wajah kepolisian Indonesia diharapkan menjadi lebih humanis.
Sebenarnya, pada dasarnya hubungan polisi dengan masyarakat terbagi dalam tiga katagori (Parsudi Suparlan 2004).
Pertama, posisi seimbang atau setara. Artinya, polisi dan masyarakat menjadi mitra yang saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Kedua, posisi polisi yang menganggap masyarakat sebagai atasannya, sehingga berbagai kebutuhan rasa aman harus dipahami dan dipenuhi oleh polisi. Dalam hal ini polisi senantiasa berupaya untuk memahami masyarakat yang dilayaninya.
Ketiga, posisi polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sekaligus sebagai aparat penegak hukum yang dapat dipercaya.
Meskipun paradigma baru Polri menekankan aparat kepolisian harus tampil sebagai polisi sipil yang humanis, sesungguhnya salah satu dari tiga poin Tri Brata adalah pengejawantahan dari nilai-nilai polisi sipil yang humanis. Poin ketiga dari Tri Brata tersebut berbunyi "Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban", Hanya saja selama ini nilai-nilai humanis yang ditekankan Tri Brata itu selalu berhasil dikalahkan oleh nilai - nilai ekonomis, sehingga sering terjadi berbagai pengkaburan konsep kepolisian di negeri ini.
Untuk menjadi polisi sipil yang humanis ada tiga hal yang patut dilakukan oleh anggota polisi secara rutin, terus menerus, dan konsisten. Yaitu selalu bersikap empati, mau melayani sesama, dan selalu mampu mengendalikan emosi. Dalam situasi apapun dan dengan latar belakang apa pun seorang anggota polisi harus mampu berprilaku simpati, sehingga masyarakat selalu bisa merasa nyaman berada di dekatnya. Dengan adanya sikap simpati yang diberikan anggota polisi tersebut masyarakat akan merasakan bahwa polisi tersebut sesungguhnya sudah memberikan rasa empati kepada mereka. Empati berarti seorang polisi menempatkan dirinya pada posisi masyarakat. Dengan demikian, polisi itu bukan hanya memahami kebutuhan dan keinginan masyarakat tersebut, lebih dari itu ia mengenal lebih detil lagi tipe-tipe masyarakat yang berbeda, yang berada di wilayah tugasnya.
Secara jujur, imbalan yang diterima seorang polisi sesungguhnya tergantung pada pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat. Jika nilai-nilai ini dipahami, setiap anggota polisi pasti selalu terobsesi untuk melayani masyarakat. Ia akan terus mencari cara-cara baru untuk melayani masyarakat secara lebih baik dari pada yang dilakukan sebelumnya. Sebab, inilah sesungguhnya nilai-nilai dasar dari filosofis Polri sebagai pelayan masyarakat. la akan selalu bertanya, apa sebenarnya yang dibutuhkan, diinginkan, dan diharapkan masyarakat? Apa yang dianggap bernilai oleh masyarakat? Pertanyaan ini menjadi penting karena polisi tersebut sangat menyadari bahwa masyarakat adalah komunitas yang menjadi tempatnya bergantung guna meraih sukses dalam pekerjaan.
Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat masing-masing anggota kepolisian dituntut harus mampu mengendalikan emosinya, dalam situasi apapun. Jika tidak filosofis pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat yang diagung-agungkan Polri hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Dalam nilai-nilai polisi sipil yang humanis, munculnya emosi negatif yang meledak-ledak di banyak kasus yang melibatkan anggota Polri adalah sebuah peringatan bahwa jajaran kepolisian agar segera mengubah persepsi (cara memandang) dan prosedur, tindakan maupun prilakunya.
Bagi kebanyakan orang, emosi sering dianggap sebagai respon spontan atas kejadian atau perbuatan orang lain terhadap kita. Namun bagi seorang anggota polisi yang sering mendapat didoktrin sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, ia harus dapat menempatkan diri dalam suasana emosi yang tepat. Artinya, luapan emosi tersebut harus sepenuhnya berada dalam kendali dirinya. Tidak lepas kontrol. Jika gagal berarti anggota polisi itu gagal pula melaksanakan doktrin sebagai pelindung. pengayom, dan pelayan masyarakat. Berbagai kegagalan tersebut hanya akan membawa dampak bagi tidak terciptanya polisi sipil yang humanis, yang menjadi idaman masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar